Di sekolah, aku dan teman sekelasku sedang menikmati pelajaran kesukaanku, seni musik. "tok! tok!" seorang mengetuk ruang kelas kami. Masuklah seorang laki-laki paruh baya bertubuh gendut ke ruang kelas kami. "permisi Ms. Rina, saya ingin bertemu Cindy murid kelas ini," ucap lelaki itu.
Cindy? Bukanah itu namaku? Di kelas ini yang memiliki nama seperti itu hanya satu, yaitu aku. Tapi ada apa? Tidak biasanya Kepala Sekolah memanggil muridnya langsung ke kelas sendiri kecuali memang ada sesuatu yang penting terjadi.
Aku keluar dari kelas dengannya menuju koridor sekolah. Disana Kepala Sekolah bercerita kepadaku. Jantungku berdetak cepat, bahkan membuatku menjadi sulit bernafas. Sesuatu yang buruk telah terjadi. Ku kembali ke ruang kelas dengan air mata yang terus mengalir, ku raih tasku dengan cepat, sehingga membuat teman-temanku bertanya-tanya "apa yang terjadi denganku".
Aku berlari ke sebuah rumah sakit besar, aku mencari dimana UGD berada. Disana kulihat seseorang berdiri dengan lemas di dekat ruang tersebut. Tak berapa lama orang itu menyadari keberadaanku.
“oh, kamu sudah sampai, sayang?” tanya ayahku.
“Bagaimana dengan sekolahmu hari ini?” Ayah terus bertanya kepadaku seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Tapi, Sesaat kemudian ia mendekatiku lebih dekat dan memelukku.
“Apa yang terjadi, Yah?” ucapku lirih.
“Ada apa dengan Ibu?” lanjutku melemah.
Ayah tetap diam, ia belum mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Ayah hanya mengatakan bahwa Ibu sedang didalam. Jadi Ayah memintaku agar berdoa untuk kesembuhan Ibu.
Pintu terbuka, Dokter dan asistennya keluar. Aku dan Ayah menghampirinya dan menanyakan keadaan Ibu didalam. Dokter menghela nafas dengan berat, seolah-olah ada hal buruk yang baru saja terjadi.
“Maaf, Tuan. Kami sudah berusaha sekuat tenaga, akan tetapi Tuhan sudah membuat keputusannya. Ia menjemput istri anda kepangkuannya,” Tubuhku seketika langsung lemas untung saja ada seorang suster menompang tubuhku, sehingga aku tidak terjatuh.
Dibawanya kami ke dalam ruangan. Terlihat tubuh seseorang yang sudah terbujur kaku diselimuti kain putih diatasnya. Perlahan Ayah membuka kain itu, dimana terlihat seseorang itu benar-benar istrinya yang sudah tiada. Ia tak kuasa menahan air matanya. Isak tangis-pun memenuhi ruangan itu. Suasana duka menyelimuti ruangan ini.
Itulah yang harus dirasakan Cindy dan Ayahnya. Cindy yang masih perlu kasih sayang dari seorang Ibu di usianya yang masih belia tetapi harus menghadapi kenyataan bahwa Ibunya sudah tiada. Dan sekarang Cindy harus memulai hidup barunya tanpa sosok seorang Ibu didalam hidupnya dan hanya ada Ayah yang berada disisinya, menemaninya dan mengganti peran menjadi seorang Ibu juga.
******
Stiker merah, dimana-mana stiker merah bahkan biola kesayangannku juga tak luput ditempel stiker merah. Pihak bank menyita rumah yang penuh kenangan ini dengan seluruh isinya. Apa boleh buat, semenjak Ayah di PHK dari tempat kerjanya. Ayah mulai tidak sanggup membayar hutang-hutangnya di bank yang dulu pernah ia pinjam untuk membayar operasi Ibu walaupun pada akhirya Ibu meninggal.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang? Besok waktunya kita harus meninggalkan rumah ini?” Kataku memegang lengan Ayah. “Tak ada cara lain,” jawab Ayah.
“Maksud, Ayah?” tanyaku.
“Ayah akan ke Amerika menemui Bibimu disana” jawab ayahku tegas “Lalu bagaimana denganku? Ayah akan mengajakku juga kan?” tanyaku lagi penuh harap.
“Kamu harus sekolah, sayang” jawabnya sambil membelai rambutku.
“Bagaimana bisa sekolah? Kita dalam kesulitan sekarang. Aku bisa bekerja, aku pandai bermain biola, aku juga pandai dalam berbicara” kataku lantang.
“Kamu harus sekolah, Kamu tidak boleh berhenti” ucap ayah.
“Ayah akan berusaha agar kamu tetap bersekolah, lagipula Ayah masih punya sedikit uang simpanan,” lanjutnya.
Aku terdiam, di dalam kamarku. Mengingat perkataan Ayah yang akan pergi ke Amerika dan akan menitipkanku kepada temannya yang belum ku ketahui siapa mereka itu. Keluarga yang baik atau tidak? Tempatnya nyaman seperti aku berada di rumah ini atau tidak? Yang pasti aku akan segera mengetahuinya nanti.
Kami sedang berada di bandara, menunggu keberangkatan Ayah. Sebelum Ayah pergi, ia memberiku beberapa lembar uang dan sebuah alamat.
“Pergilah ke alamat ini, Ayah sudah menelponnya bahwa kamu akan tinggal bersamanya” ucapnya.
“Dan belilah Biola baru sebagai pengganti biolamu yang disita karena Ayah,” lanjut Ayah.
Aku Cuma mengangguk mendengar perkataan Ayah. Tiba-tiba terdengar bahwa pesawat yang akan membawa Ayah akan segera lepas landas. Segera aku memeluk Ayah. “Aku akan merindukanmu, Ayah” ucapku.
“Ayah akan sering menghubungimu,” sahutnya.
Pelukan kami perlahan-lahan merenggang hingga pelukan kami benar-benar terlepas. Ayah-pun pergi. “Makanlah yang banyak, jangan sampai kau jatuh sakit. Kau terlihat kurus, Ayah” teriakku. Ayah hanya mengangguk dan meneruskan langkahnya. Dan lama kelamaan langkah itu mengecil, mengecil hingga tak terdengar suaranya lagi.
Aku turun dari taksi yang mengantarkan ke komplek perumahan mewah di daerah Pondok Indah. Aku berdiri di depan rumah yang cukup bahkan lebih besar dari rumahku. Aku memencet belnya dan seorang laki-laki yang sepertinya seumuran dengan ku membukanku gerbang rumah itu. “silakan masuk, kamu sudah ditunggu didalam,” ucap laki-laki itu kepadaku.
“oh.. baiklah, terima kasih,” kataku.
“untuk apa?” sahutnya.
“Terima kasih sudah membukakan gerbangnya,” ia hanya mengangguk.
Cindy pun masuk ke dalam rumah itu sambil membawa kopernya.
“oh, Nak Cindy sudah datang?” sapa laki-laki paruh baya yang sepertinya beliau tuan Hadi Hendraso, teman Ayahku. “duduklah,” kata tuan Hadi. Disana aku juga melihat dua orang wanita yang sepertinya istri dan anaknya. “baik, Tuan” Sahutku.
“Jangan pannggil saya Tuan. Anggap saja saya dan keluarga ini adalah keluargamu juga”
“dan perkenalkan itu istri saya, panggil saja tante Sri. Yang disana itu Rina anak kedua om dan tadi yang membukakan gerbang untukmu Brian, anak pertama om,” ucapnya memperkenalkan satu persatu anggota keluarganya.
“Aku Cindy Merinda. Usiaku 18 tahun,” kataku memperkenalkan diri.
“Kamu memiliki usia yang sama dengan Brian,” ucap tante Sri yang sendari tadi diam.
“Dimana kamu bersekolah?” Rina juga ikut berbicara.
“Cahaya Harapan Indah,” Balasku.
“Jurusan apa?” Tanya tante Sri.
“Seni musik tante, Brian sendiri sekolah dimana?” tanyaku
“Di Hyeris High School,”
"Apa aku tidak salah dengar? bukanya itu sekolah elit. Sekolah yang sering masuk televisi itu,kan?" Gumamku.
“Kamu pasti lapar, tante akan menyiapkan makan malam selagi kamu membersihkan tubuhmu”
“Ian, bantu Cindy membawa kopernya ke kamar,” kata tante Sri kepada Brian.
“Tidak usah, tante. Aku bisa membawanya sendiri,” belum sempat tante menjawab Brian sudah membawakan koperku.
“Apakah ini kamarku?” Tanyaku padanya.
“Tentu ini kamarmu. Mana mungkin aku membawamu ke kamarku,” jelasnya.
“Terima kasih,” ucapku.
“Hmm” jawabnya singkat.
******
Tok! Tok!
Brian mengetuk pintu kamar Cindy dengan handuk yang masih menggantung dilehernya. “Bangun, sudah siang,” ucap Brian. Namun orang yang dibangunkan tak juga bangun dari tempatnya. Brian kembali mengetuk kembali pintu kamarnya Cindy.
Cindy mendengar seseorang mengetuk pintunya. Perlahan ia membuka matanya. Matanya melihat jam dinding yang terpapang dikamarnya, ia kesiangan. Ia merapikan sedikit pakaiannya lalu membuka pintu kamarnya.
“Cepatlah mandi, jika kau tidak ingin terlambat, kamu belum hafal jalan ke sekolahmu dari sinikan? Ucapnya.
“Iya,” Cindy mengangguk.
Di ruang makan.
“Duduklah, mari sarapan” kata tante Sri padaku.
“Nanti kamu mau bareng om dan Rina naik mobil atau bareng Brian naik motornya?” Paman menatapku.
“Bukannya sekolah Cindy dan Brian satu arah, Pa?" ucap Rina.
“Daripada Papa dan Rina bolak balik mending Cindy bareng Brian itung-itung biar mereka lebih saling mengenal,” tante Sri-pun menimpali.
“Gimana, Ian?” tanya tante Sri kepada Brian.
Semua menunggu jawaban Brian.
“Hmm” Brian menganggukan kepalanya.
“Giliran aku minta anterin, kakak tidak pernah mau,” Rina iri pada Cindy.
“Diakan belum tahu daerah sini., nah! kalau kamu kan sudah dari lahir disini. Lagian kamu bisa bareng Papa, kan?” Jelas Brian pada adiknya.
“iya iya” dengus Rina.
Diantarnya aku ke Sekolah oleh Brain.
Tapi aku memintanya agar menurunkanku di tikungan dekat Sekolah dan dia menurutinya.
“Cindy, Miko mau dikemanain?” suara Ria terdengar.
Cindy menoleh ke belakang, “oh, kamu Ri”
“Bukan siapa-siapa kok,” lanjutku.
“Bukan siapa-siapa kok pake dianterin segala sih?” kutarik lengannya dan kutuntun dia kelas.
“sebenarnya ada apa sih, Cin? Aku pake ditarik segala? Emangnya aku piaraanmu?" Geramnya.
“Gini, Ri. sebenarnya…” Cindy menarik nafasnya. “Beberapa hari lalu Ayahku baru saja di PHK dan rumahku beserta isinya juga disita”
“Apa!? Ayahmu di P…” Segera kututup mulutnya, takut-takut teman yang lain mendengar. Cindy melanjutkan ceritanya.
“Jadi, sekarang kamu tinggal di rumah laki-laki itu sementara Ayahmu menemui Bibimu di Amerika?” Ria Prihatin padaku.
“Seharusnya kamu menghubungiku. Kita kan sudah hampir 3 tahun bersahabat, masa sahabatku sedang menderita, aku justru tidak tahu. Walaupun rumahku tidak sebesar dan seluas punyamu, tapi kujamin kalau kamu akan nyaman nantinya,” Ria menatapku sedih.
“Bagaimana lagi, Ayahku sudah menitipkanku pada temannya dan aku juga tidak ingin menyusahkan kamu dan keluargamu”
“iya sih, lalu bagaimana keluarga itu? Apa kamu sudah memberitahu Miko?”
“Keluarga om Hadi sangat baik padaku. Ia mempunyai seorang istri, sepasang putra dan putri. Soal Miko aku akan memberitahunya segera,” kataku.
******
Hari ini, hari pertama Miko menjemputku setelah aku memberitahunya tentang perpindahanku. Ia juga tak marah saat aku mengatakan kalau beberapa hari ini aku diantar jemput oleh Brian. Padahal biasanya laki-laki akan marah jika mengetahui pacarnya diantar jemut pria lain tapi sungguh Miko memang laki-laki yang dewasa pemikirannya.
Bel pintu berbunyi, tante Sri membukakan pintunya.
“Assalamu’alaikum, tante. Cindy-Nya ada?” salam Miko pada tante Sri.
“Oh tunggu sebentar tante panggilkan dulu. Tapi kamu siapa?” jawab tante Sri
“saya Miko, tante” terang Miko.
Tante bergegas menghampiri Cindy memberitahukan kalau ada seseorang yang mencarinya. Cindy langsung berpamitan pada semuanya. Ia tahu Miko datang untuk menjemputnya.
“siapa, Ma?” Tanya Rina bingung dengan tingkah Cindy.
“nak Miko, Sepertinya dia datang untuk menjemput Cindy” terang tante Sri.
“Miko? Laki-laki dong?” Rina semakin bingung.
“ya iya dong sayang masa nama Miko perempuan sih?” canda Ibu.
“Pengen tahu banget urusan orang lain deh!” Brian membuka suaranya.
“nyambung-nyambung aja kaya kereta!” Rina kesal.
Ria memnghampiri Cindy dan Miko yang sedang berjalan di koridor.
“Hey?” sapa Ria.
“hey juga,” kataku.
“aku duluan ya?” Miko pamit.
“kok duluan sih? Aku ganggu ya?” Tanya Ria.
“ah engga kok, Cuma takut ganggu obrolan kalian,” sahut Miko.
Miko jalan duluan ke kelasnya sedangkan Ria dan Cindy bercanda ria menuju kelasnya. “ciieeee.. yang pagi-pagi sudah dijemput sama pacarnya?” canda Ria.
“apaan sih, Ri? Bukannya sudah biasa ya?" Kataku.
“tapikan yang ini beda. Seorang Cindy yang akhir-akhir ini diantar jemput sama yang namanya Brian, sekarang udah kembali sama Miko” godanya.
“udah ah! sebentar lagi bel nih,” Cindy dan Ria melanjutkan langkah mereka.
“Mik, sepulang sekolah bisa antar aku beli biola tidak?” pintaku “Maaf, sayang. sepertinya aku tidak bisa, aku ada acara sama teman-temanku” Miko beralasan.
“yasudah tidak apa-apa deh! aku minta diantar Ria aja,” Cindy kecewa Miko tidak bisa mengantarnya.
“maaf ya, sayang” ucapnya lagi.
“iya, tidak apa-apa” jawabku.
Cindy pergi sendiri ke toko alat musik. Ria yang ia minta untuk menemaninya tidak bisa ikut karena harus membantu Ibunya menjaga toko bunga. Cindy mencoba satu persatu biola sebelum ia membelinya. Setelah merasa cocok dengan biola yang ia pegang ia akhirnya membelinya.
Cindy duduk di sebuah halte busway. Ia mengambil ponsel dari sakunya. Cindy mengirimkan email ke Ayahnya, ia mengucapkan terima kasih padanya karena sudah membelikan biola baru untuknya, “Ayah, ini aku Cindy. Bagaimana kabar Ayah? Aku disini baik-baik saja. Ayah… aku hari ini baru saja membeli biola dari uang yang Ayah berikan. Biola yang kurasa cukup lebih bagus dari milikku yang lama. Sudah hampir sebulan Ayah tidak menghubungiku atau sekedar mengirim email padaku, aku rindu padamu. Semoga Ayah dan Bibi baik-baik saja disana. Ayah, aku cinta padamu” Cindy menekan tombol kirim. Pada saat yang bersamaan busway yang ia tunggu datang, Cindy bergegas menaikinya.
“kamu dari mana saja? Kenapa jam segini baru pulang?” tente Sri bertanya padaku sesampainya di Rumah.
“Maaf, tante. Tadi aku pergi membeli biola jadi agak telat pulangnya,” kataku.
“seharusnya kamu menelpon Brian. Dia kan bisa mengantarmu” ucap tante Sri.
“tidak usah tante, Brian kan juga punya urusannya sendiri” jawabku.
“ya sudah mandi dan istirahatlah. Kamu pasti lelah, kan?” tanyanya kembali.
Cindy menganggukan kepalanya.
Akhir bulan Juni 2010
Para murid sudah memasuki ruang wisuda. Kebanyakan dari mereka datang bersama orang tuanya. Hanya aku yang datang seorang diri. Seminggu yang lalu, aku sudah mengirim email kepada Ayah agar bisa datang ke acara wisudaku. tapi dengan sangat menyesal Ayah tidak bisa menghadiri acara kelulusanku, karena kesibukannya untuk membayar hutang-hutang kami. Sahabatku Ria, bahkan mengajak semua keluarganya. Sungguh aku sangat iri padanya yang masih mempunyai keluarga yang lengkap.
Tiba saatnya aku diwisuda, tanpa ada orang yang memberiku buket bunga seperti yang dilakukan orang tua pada anak-anaknya. Tapi tunggu, disaat aku sedang berdiri diatas podium seorang wanita paruh baya dengan paras catiknya menghampiriku. Ia memberikanku sebuket bunga mawar. “tante Sri?” Cindy terkejut karena tante Sri ada disini bersamanya. “lanjutkan saja dulu pidatomu” Ucap tante Sri. Cindy melanjutkan pidatonya ia terharu dengan apa yang terjadi saat ini.
“tante kenapa disini? Bukannya seharusnya bersama Brian?” tanyaku.
“kenapa kamu tidak bilang kalau acara wisudamu hari ini?” tante malah balik bertanya. “tante kan bisa menemanimu dari awal,” lanjutnya.
“Cindy hanya tidak mau merepotkan tante. Masa Brian wisuda tapi tante tidak disana, malahan menemani ku disini” jawabku.
“seharusnya kamu bilang dari awal, pasti kamu tidak sendirian seperti tadi” ucapnya kembali.
“maksud tante?” tanyaku heran dengan ucapan tante Sri.
“wisuda Brian ditunda karena ada satu masalah. Untung tadi Ria menelpon ke rumah jadi tante bisa tahu” terang tante Sri.
“makasih ya tante sudah datang kesini menemaniku” ucapku penuh haru.
Ditengah pembicaraan, Ria datang menghampiri mereka. Ia ingin berfoto bersama Cindy dengan pakaian toganya. Cindy juga mencari Miko, ia ingin foto bersamanya tetapi sepertinya Miko sedang sibuk berfoto bersama teman-temannya disana. Beginilah nasib perempuan jikalau punya pacar ketua osis yang ganteng, tinggi dan terkenal dikalangan perempuan lain. Tapi mau gimana lagi Cindy tidak bisa marah pada kekasihnya itu. Dia hanya bisa sabar dan sabar melihat kekasihnya dikerumunin teman-teman wanita.
******
Sudah waktunya pendaftaran calon mahasiswa di unversitas. Cindy berjalan meuju sebuah bank. Ia ingin mengambil semua uang tabungannya yang selama ini sengaja dia kumpulkan untuk kuliahnya. Tidak sia-sia dulu ia menuruti nasihat Ayahnya yang menyuruhnya menabung sejak dini untuk masa depannya.
Cindy kembali ke rumah dengan uang ditasnya. Di halaman, dia bertemu dengan Brian yang ssepetinya sedang asik mendengarkan musik. “apa yang kau lakukan disini?” tanyaku.
“Sedang bermain basket,” sahutnya.
“tidak ada bola basket disini, hanya ada earphone yang terpasang ditelingamu,” ucap Cindy polos.
“itu sudah tahu pakai nanya segala” ucapnya dingin.
“darimana kamu?” lanjutnya.
“mengambil uang di bank dekat komplek” jawabku.
“mengambil uang? Kamu ingin daftar kuliah?” tanyanya lagi.
“iya” jawabku singkat.
“universitas mana yang kamu pilih?” tanyanya.
“ Universitas Indonesia. Kamu sendiri?” jawabku menjelaskan.
Brian menggeleng.
“kok tidak tau sih?” tanyaku ambigu.
“pendaftaran sudah dimulai seharusnya kamu sudh menetukan mau masuk ke universitas mana?” kataku.
”mau kemana? Aku hanya ingin bermain basket” terangnya.
“sudah punya tujuannya, kan? Sebaiknya masuk ke universitas yang sama denganku saja. Disana kamu kan bisa meningkatkan potensi bermain basketmu dan akademik lainnya. Itung-itung sekalian gitu aku bisa bareng kamu kalo kuliah,” ucapku.
Brian terdiam.
******
Sudah 3 bulan ini Miko tidak pernah menghubungi Cindy. Bahkan jika Cindy menelponnya Miko jarang mengangkatnya.
Cindy terus melihat ponselnya ia berharap mendapat telepon dari Miko. Brian masuki ke kamar Cindy. Ia ingin mengambil Charger ponsel yang Cindy pinjam kepadanya. Brian menghempaskan tubuhnya ke sofa di kamar Cindy.
“ini” Cindy memberikan charger ke Brian. Brian pun mengambilnya.
Cindy melihat kembali ponselnya. Brian bingung melihat tingkah Cindy yang tidak henti-hentinya melihat layar ponselnya.
“siapa yang sedang kamu tunggu?” Brian bertanya.
“orang itu,” lanjut Brian.
“kenapa ku selalu menyebutnya orang itu. Dia punya nama, namanya Miko Winata tahu,” Cindy kesal Brian selalu memanggilnya pacarnya seperti itu.
“iya maksudku dia?”
“iya,” Cindy mengangguk.
“untuk apa ditunggu?”
“untuk apa ditunggu? Kamu kan sudah tahu aku sudah mejalin hubungan lama dengannya. Jadi apa salahnya seorang wanita menunggu telepon dari pacarnya” ucapku sedikit emosi.
Brian terdiam. Ia teringat saat sedang berjalan-jalan bersama Andre.
Sore itu Brian dan Andre sedang hangout bersama disalah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Pusat. Saat mereka sedang berada di sebuah distro Brian melihat Miko lewat didepan distro itu. Miko sedang bersama wanita lain, mereka terlihat mesra sekali.
“Dre, tunggu bentar ya? Aku harus mendatangi suatu tempat" Andre yang sedang memilih pakaian hanya menganggukan kepalanya. Brian berlari mencari Miko.
Brian menarik tangan Miko segera setelah menemukannya.
“apa yang kamu lakukan disini?” Brian bertanya.
Miko terkejut, dia bingung harus berkata apa.
“kutanya apa yang kamu lakukan disini, berengsek!” teriak Brian.
“kenapa kau berteriak padaku? Aku tidak pernah punya masalah denganmu? Jawab Miko bgitu santai.
“Kau memang tidak punya masalah denganku tapi kau baru saja membuat kesalahan besar”
“apa?”
Brian sudah tidak bisa menahan emosinya. Ia lepas kendali ia memukul wajah Miko. Wanita yang bersama Miko pun merasa ketakutan dengan Brian. Ia menarik kerah baju Miko.
“dasar berengsek! tidak punya perasaan! Masih berpacaran dengann Cindy, beraninya kau bermesraan dengan wanita lain. Tiap malam ia menunggumu, berharap kau menghubunginya tapi apa yang kau lakukan seakarang?” Brian memukul kembali Miko. Sekarang mereka menjadi tontonan para pengunjung lainnya.
"Lalu? haruskah ku meminta maaf kepadanya? Hah!” Brian memukul kembali Miko hingga terjatuh.
“dulu kami memang saling mencintai tapi sekarang itu tidak lagi terjadi padaku. Untuk apa berpacaran dengan orang yang sudah jatuh miskin?”
“lalu kenapa kau tidak memutuskannya?” Brian ingin memukul kembali tetapi suara peluit terdengarbegitu nyaring. Security menghampiri mereka yang sedang berkelahi.
“untuk apa kau mencampuri urusan kami?” Miko memukul Brian gentian. “jika kau menyukainya kenapa harus menungguku memutuskannya? Pengecut!” lanjutnya.
“berengsek!” Brian ingin memukul kembali Miko tetapi sayang kedua tangannya dipegang oleh security.
“jika kau ingin aku memutuskannya. Baik! Akan kuputuskan dia.” Miko melangkah pergi bersama wanita itu.
Brian yang kesal menghempaskan tangannya dari pegangan para security. “kenapa kalian memegangku? Bukan tangannnya? Dasar security tak berguna,” Brian pergi meninggalkan security tersebut yang masih bungung dengan apa yang terjadi dan juga kerumunan yang sedari tadi melihat perkelahian dirinya.
Kembali kemasa ini. Brian menatap dalam cindy
“ada apa? Kenapa kau melihatku terus?” Cindy membuyarkan lamunannya.
“tida apa-apa. Thanks chargernya” Brian melangkah keluar kamar Cindy pada saat itu juga Miko menelpon Cindy.
Brian menoleh ke arah Cindy. “Kasihan gadis ini” gumamnya dalam hati. Lalu Brian melangkahkan kembali kakinya.
******
Sore itu Brian sedang latihan basket bersama Andre dan teman-teman lainnya. Brian terlihat lihai memantulkan bola kering bulat diatas lapangan.
Andre adalah teman yg brian kenal saat masuk ke universitas ini. Mereka menjadi lebih dekat karena memiliki kesamaan, yaitu menyukai basket dan masuk club basketball yg sama di universitas.
Ibu menelpon Brian yang kebetulan baru selesai latihan bermain basket bersama teman-temannya. Ibu memberitahu bahwa Cindy belum pulang seharian ini setelah pergi tadi pagi. Cindy juga tidak mengangkat telponnya. “Kenapa Ibu mencarinya?” tanya Brain.
“Ibu hanya khawatir dengannya, ia pergi dari tadi pagi tapi sampai sekarang belum juga pulang” tutur Ibunya.
“dia sudah besar, dia bisa mengatur waktunya sendiri” ucap Brain.
“tapi Cindy bilang ingin bertemu pacarnya” terang Ibunya menjelaskan.
“Miko?” tanya Brain.
“iya Miko pacarnya” jawab Ibunya.
“Ibu aku akan menghubungimu nanti, aku ada urusan” ucapnya menutup pembicaraan.
Brian mematikan telepon Ibunya. Ia ingat semalam Cindy menerima telepon dari Miko. Ia juga ingat kalau Miko berselingkuh dan berkata akan segera memutuskan Cindy. Brian menyalakan mesin motornya. Tanpa berpamitan dengan yang lain ia sudah menancapkan gas motornya.
Ia berusaha menelpon Cindy tapi yang ditelpon tak kunjung mengangkat teleponnya. Ia akhirnya menepon Ria yang mungkin saja mengetahui Cindy berada tapi hal itu sia-sia, seharian ini mereka tidak bertemu.
“aku tidak bertemu dengannya hari ini. Mungkin ia bersama Helda memang ada apa? Ria bingung. Tak biasanya Brian menelponnya apalagi menanyainya tentang Cindy.
“ada sesuatu yang terjadi dengannya. Bisakah kau menepon Helda”
Ria yang mendengar suara Brian yang terburu-buru dan khawatir langsung mengiyakan. Walaupun ia tidak tahu apa yang terjadi pada Cindy tapi ia akan membantu apapun jika itu untuk sahabatnya.
Brian mencari keberadaan Cindy kemana-mana. Ia pergi ke kampus dan taman tempat biasa Cindy dan teman-temannya menghabiskan waktu tapi tetap tidak ada. Saat sedang melintas dijalan, ia melewati sebuah toko alat musik yang di etalase kacanya memanjang sebuah biola. Saat itu juga dia ingat bahwa Cindy sangat menyukai biola. Ia kembai ke kampus dan langsung berlari ke ruang dimana biasanya anak seni berlatih. Dan benar disana dia mendengar suara sebuah biola yang sedang dimainkan seseorang dengan suara yang begitu keras.
Cindy terus memainkan biolanya. Melodi yang keluar dari biola itu seperti naga yang mengeluarkan api dimulutnya begitu keras dan penuh amarah.
Perlahan gesekan itu mulai melemah. Dan tangisan yang tadinya tak terdengar sekarang menjadi terdengar oleh Brian. "Sesuatu yag buruk telah terjadi" Umpat Brian.
“apa yang kamu lakukan disini?” Brian mendekatinya. Bukannya menjawab Cindy tetap diam terhanyut atas kesedihannya.
Brian memegang kedua bahu Cindy, “kenapa kau menangis dimalam hari? Apa ada masalah dengan Miko? Kudengar kau bertemu dengannya hari ini”
“orang itu… bagaimana bisa dia melakukan ini padaku?” “selingkuh” ucapnya sendu.
Brian mendekatinya dan memeluknya. “sudahlah, kenapa kau menangisi orang yang sudah menghianatimu?” “lihatlah dirimu yang cantik menjadi sangat jelek dilihatnya sekarang,” Brian mengelus lembut rambut Cindy.
Brian membawa pulang Cindy dengan motornya. Cindy yang masih sedih pun menangis dipunggng cowok tegap itu.
******
Ibu menyuruh Rina mengantarkan makanan ke kamar Cindy. Sudah beberapa hari ini Cindy mengurung dirinya di kamar, sesekali dia keluar sekedar ke kamar mandi. "Kak Cindy?” Rina mengetuk pintu kamar Cindy.
“Ibu menyuruhku mengantarkan makanan ini,” ucap Rina. Cindy tak menjawabnya ia malah mengambil biolanya dan memainkannya. Rina yang menyadari kalau Cindy sedang tidak ingin diganggu, segera pergi meninggalkannya.
Pintu terbuka dari kamar sebelah. Brian keluar, “apa dia tidak mau makan lagi?” Rina menoleh ke arah kakaknya. Rina-pun mengangguk.
Brian mengambil nampan makan dari tangan Rina.”pergilah belajar,” suruhnya.
“tapi kak,” sela Rina.
“akan ku coba membujuknya,” Rina menuruti kakaknya dan turun kebawah.
Tok!tok!
Tidak ada jawaban dari dalam. “ aku akan masuk,” ucap Brian tanpa basa-basi ia langsung masuk ke dalam.
“makanlah ini. Sudah beberapa hari ini kau tidak makan dengan teratur,” Cindy terus memainkan biolanya. Brian yang kesal ucapannya tidak dihiraukan. Ia melangkah mendekati Cindy dan merebut biolanya.
“ia mengencanimu karena hartamu bukan karena dia mencintaimu”
“tau apa kau tentangnya?” Cindy mulai bersuara.
“kau sudah jatuh miskin, seharusnya kamu sadar kenapa Miko memutuskanmu sekarang? Jadi makanlah ini”
Brian mengacungkan makanannya. Cindy menghempaskannya. “tau apa kau? Aku memang miskin tetapi tidak seharusnya kau berkata seperti itu padaku”
Brian tahu ia sudah salah bicara. “bukan maksudku begitu, hidup terus berjalan tak seharusnya kamu seperti ini hanya karena Miko. Berpikirlah, kamu ini sudah dewasa, Ayahmu sedang berjuang demi hutang-hutangnya dia pasti akan sedih jika mengetahui anak kesayangannya seperti ini kondisinya”
Cindy terdiam. Ia mengangis mendengar ucapan Brian barusan.
“Cindy?” pangil Ria dan Helda didepan kamarnya.
“Apa kami boleh masuk kedalam?” Cindy membukakan pintunya.
“bagaimana kabarmu?” Ria mulai menanyai sahabatnyaa.
“kamu sudah seminggu tidak masuk kelas?” tanya Helda.
“kami sudah mendengar semuanya dari Brian,” kata Ria.
“memang seharusya orang sepert itu tidak bersamamu" ucap Helda, tidak terima. "kita datang buat semangatin Cindy tapi kenapa kamu malah membuatnya kembali sedih,” ucap Ria menyatakan tujuan mereka.
“upss, maaf” Helda membekap mulutnya.
“gini aja deh. Kita punya kabar baik daripada kamu terus begini,” Ria memberi selembar brosur.
“ini apa?” Tanya Cindy.
“Teman tanteku baru mebuka tempat khursus. Ia sedang mencari pekerja,” Ucap Helda.
“terus apa hubungannya denganku?” Cindy masih bingung.
“gini nih kalau kelamaan galau jadi lola deh! Teman tantenya Helda baru buka tempat Khursus alat musik Piano dan Biola. Nah dia lagi kekurangan pekerja untuk mengajar biola. Bagaimana jika kamu ikut daftar?” jelas Ria.
“aku?” Tanya Cindy.
“iya kamu. Bukannya kamu bilang kamu sejak kecil sudah bermain biola. Kamu juga pernah belajar bola dengan ahlinya. Dan sering mengikuti kontes biola. Jadi daripada kamu terus mikirin laki-laki itu gimana kalau kamu bekerja? Lumayankan gajinya bisa buat bayar semesteran?” Ucap Helda panjang lebar.
“mau ya…” bujuk kedua sahabatnya itu.
******
Tante Sri menyuruh Cindy membawa dompet Brian yang ketinggalan sebelum Cindy berangkat ke kampus. Hari ini Brian memang berangkat lebih awal dari biasanya, karena akan ada pertandingan basket di kampus.
Cindy mencari keberadaan Brian di lapangan tapi dia tidak menemukannya.
“Cindy?” sapa orang dibelakangnya.
Cindy pun menoleh ke arah yang memanggilnya. “oh benar Cindy, ada apa kamu kesini? Bukannya kelas seni itu di siang hari?” Tanya Andre.
“eh kamu, Dre? Iya nih seharusnya aku berangkat siang. Tapi tante menyuruhku mengantarkan dompet Brian yang ketinggalan.” Kataku jujur.
“tumben Cindy yang biasanya selalu cuek sama Brian jadi sok baik gini mau nganterin dompetnya yang ketinggalan segala lagi,” goda Andre.
“masa?" “bukannya Brian yang seperti itu padaku?” tanyaku balik.
“memangnya iya? Bukannya saat kau patah hati Brian yang menolongmu?” Tanya Andre, menyindirkan kejadian itu.
“udah ah! apaan sih kamu, Dre? Yaudah sekarang dimana tuh orang?” ucapku.
“tuh disana” ucapnya sambil menunjuk salah satu sisi lapangan disana. Cindy melihatnya dan ada wanita disampingnya Brian juga. Kenapa wanita itu selalu dekat-dekat pada Brian? tidak tahu malu apa tuh orang? Sudah jelas-jelas Brian tidak suka dengannya. Cemohku dalam hati. [wanita itu = Tere. Cewek yang tergila-gila dengan Brian. Bahkan dengan PD-nya dia terus mendekati dan mengikuti Brian. Padahal dari tatapan Brian saja kita sudah bisa tahu kalau dia memang tidak suka sama dengannya]
Andre mengantarkanku ke Brian.
“Ian, Cindy nyariin nih! katanya mau ngasih dompet titipan nyokap,” Andre menjelaskan maksud kedatanganku. Brian mengambil dompetnya dari tangan Cindy. “liat kan bukan aku yang cuek, tapi dia sudah baik aku mengantarkan dompetnya tapi dia malah tidak mengucapkan terima kasih,” bisikku pada Andre. Andre mengangguk.
“yasudah aku ke kelas dulu, Dre” pamitku.
“eh, engga mau nonton dulu?" “pertandinganya sebentar lagi dimulai,” ucap Andre.
“tidak, nanti saja, Ria sama Helda belum datang, aku tidak mau sendirian”
“bagus deh kalo gitu!”
"eh! apa-apaan sih tuh nenek lampir? nyambung-nyambung aja, Brian sendiri juga tidak mau kamu semangatin" Desahku dalam hati.
Tapi orang yang sedang diomongin sepertinya sedih mendengar Cindy tidak bisa menonton pertandingannya. Kenapa dia harus menunggu Ria dan Helda baru mau menontonku?. Andai saja Cindy mengetahui kesedihan Brian mungkin ia bisa mempertimbangkannya kembali.
“oh yasudah, yang penting kamu doain kita aja biar bisa menang,” kata Andre.
“iya,” sahutku sambil melangkah kakiku meninggalkan mereka.
Cindy melangkah pergi ke kelas seni. Kelas masih begitu sepi dan kosong. Tidak ada orang disini. Ia membuka tas biolanya dan memainkannya.
1 jam kemudian Helda datang.
“Cindy?” panggil Helda.
“oh, hai!” Cindy berhenti bermain biola.
“Ria mana?” Tanya Cindy pada Helda yang datang seorang diri.
“oh ya aku lupa hari ini Ria tidak masuk” ucapnya memberitahukan.
“tidak masuk?” tanya Cindy heran.
“Hari ini konser GOT7 di Jakarta yang pertama jadi dia pergi untuk menontonnya” jelasn Helda pada Cindy.
“GOT7 idolanya?” tanya ambigu Cindy.
“ya iya lah Cindy! kalau idolaku, kenapa dia yang nonton? Kan kamu tahu sudah lama dia menginginkan menonton konser itu”
Ria sahabatnya memang pencinta lagu Korea. Mungkin jika dihitung dari SMA, ia tipe orang yang lebih suka menahan lapar daripada tidak bisa membeli album idolanya. Sedangkan Helda, dia gadis keturuan Cina. Ayahnya adalah seorang pianis di Cina dan Ibunya adalah guru vocal. Tidak salah jika Helda menuruni bakat seni orang tuanya.
“Cindy, kita nonton pertandingan basket aja yuk!” ajak Helda.
Cindy dan Helda pergi ke lapangan basket. Disana sudah ramai mahasiswi yang menonton pertandingan itu. Mereka mencari bangku penonton yang masih kosong dan mendudukinya. Brian tidak mengetahui Cindy sedang menontonnya, ia terus bermain basket dengan serius.
Malam harinya, Cindy mendapat mention di twitternya dari Ria. “lihat! Aku mendapat foto Bambam! Aaaa! Bambam Saranghae <3” Ria mengirimkan foto yang dia dapat saat nonton konser tadi. Tak lupa Ria juga mengirimnya pada Helda. "Lihat anak ini seperti baru menang lotre saja, bahagia sekali." Gumam Cindy.
******
Sudah 1 bulan ini, Cindy menjadi pegajar di sekolah musik milik teman tantenya Helda.
Senior menghampiriku, ia mengatakan padaku bahwa aku sudah dijemput seseorang didepan. Cindy berpikir siapa yang menjemputnya padahal hari ini dia tidak meminta seseorang untuk menjempunya.
“kau sudah pulang?” Brian melemparkan helm yang ia bawa dan menyuruhnya segera naik motor.
“kenapa kau menjemputku?” tanyaku heran.
“kalau bukan Ibu yang menyuruhku untuk menjemputmu aku juga tidak bakal kesini lebih baik tidur di rumah,” jawabnya.
Brian baru akan menaiki motornya tapi Cindy menahan lengannya.
“aku lapar, mari kita makan dulu,” kataku.
“kau bisa makan di rumah kan?” ucapnya ketus.
“tapi aku sedang ingin makan di restoran didekat lampu merah didepan itu,” pintaku.
“naiklah,” itulah jawabannya. Jawaban yang tidak pasti maksudnya.
Brian menghentikan motornya.
“kenapa berhenti?” Cindy heran.
“kau bilang kau ingin makan?” Brain menunjukkan keberadaan mereka sekarang. Cindy menoleh ketempat yang Brian tunjukan. Ternyata restoran yang ia inginkan.
Mereka masuk ke dalamnya. Cindy memesan begitu banyak hidangan untuk dimakan berdua.
“kenapa kamu memesan begitu banyak makanan?” tanyanya.
“inikan bukan untukku saja tapi untukmu juga” jawabku santai.
"Tapi aku tidak lapar” ucapnya.
“jangan menolak rejeki, hitung-hitung ucapan terima kasih atas jemputanmu” elakku.
Selesai membayar makanannya Cindy mengajak mampir sebentar ke salah satu toko pakaian yang dekat dengan restoran tersebut.
“jangan hambur-hamburkan uangmu untuk membeli barang yang tidak penting” ucapnya, menasehatiku.
“ini bukan untukku tapi untuk ibumu” ucapku.
“ibuku?” tanyanya.
“iya, hari ini aku mendapat gaji pertamaku sebagai pengajar jadi aku ingin berbaginya dengan ibumu” jawabku sedikit menjelaskan.
“Tidak perlu. Jika Ibu ingin, dia membelinya sendiri” ucapnya mencegahku.
“tak apa” jawabku tenang.
Cindy memilih pakain yang cocok untuk tante Sri. Sekali-kali dia juga meminta pendapat Brian tentang pakaian yang akan ia beli. Akhirnya Cindy menemukan pakaian yang sekiranya cocok untuk tante Sri.
“totalnya Rp 300.000,00 nona” kata pelayan toko itu. Cindy memberikan uangnya.
“terima kasih atas kunjungannya” Cindy tersenyum simpul pada pelayan toko itu.
“untuk apa kamu membeli baju semahal itu?” tanyanya begitu dingin.
“tidak papa. Masa aku memberi Ibumu pakaian obralan?” jawabku.
“dan terima kasih sudah mau mengantarkan ku,” Brian mengangguk.
“ku pikir ini pertama kalinya kita keluar bersama?” Cindy menatap Brian. Brian hanya terdiam mendengarnya.
******
Ayah tiba-tiba datang dari Amerika, ia mengajakku pindah ke Amerika bersamanya.
“jadi Cindy akan pergi? Dia tidak tinggal disini lagi?” Tante Sri menatap sedih Cindy. Ia merasa kehilangan Cindy yang sudah dianggap anaknya sendiri.
“maafkaan aku Sri, tapi sepertinya aku memang sudah tidak sanggup menebus kembali rumah kami” ucap ayahku.
“kakakku menyuruh membawa Cindy kesana, disana ada sekolah musik yang bagus,” lanjutnya.
“aku tahu, Amerika memang gudangnya para peseni lahir” ucap om Hadi.
“tapi, di Negara ini banyak juga sekolah musik yang bagus, kami bisa membantumu untuk membayar sekolah Cindy nanti, Aku yakin Cindy juga betah disini, iya kan Cindy?” Tante manatapku penuh harap.
Aku sendiri tidak tahu harus berbuat apa. Dulu aku memang punya mimpi bisa melanjutkan sekolah musik di luar negeri yang terbukti kualitasnya daripada di Indonesia. tapi sekarang aku tidak tahu. Aku ingin ikut Ayah ke Amerika tapi aku juga sudah terlanjur betah disini.
“maaf semua, aku ke atas duluan. Ada ujian sebentar lagi, jadi aku harus belajar,” Brian pamit duluan meninggalkan ruang keluarga.
Dikamar Brian melamun. Ia sedih gadis yang ia sukai harus pergi meninggalkannya, "tapi apa boleh buat ini salahku sendiri yang tidak berani menyatakan cinta padanya. Cindy ke Amerika pun karena ingin meningkatkan potensi bermain biolanya masa aku harus menghalangi mimpinya." Batinnya dihati.
“tapi yah…” ucapku.
“Ayah akan segera mengurus keberangkatan kita”
“sudahlah, kalian pergi tidur saja. Selagi Ayahmu mengurus dokumennya kamu bisa sambil memikirkan kembali keputusanmu pergi ke Amerika, Cindy” Tante menyuruhku dan Rina untuk segera tidur.
Aku dan Rina melangah pergi.
“kak, kamu benaran akan pergi?” Rina menghentikan langkah kakiku.
“mungkin” jawabku.
“aku pasti akan merindukanmu” ucapnya.
Di kamar Cindy memikirkan kembali keputusannya.
Di kampus.
Brian masuk ke kelasku, dia mengajakku bicara diluar.
“ada apa?” tanyaku.
“Kamu sudah membuat keputusannya?”
“keputusan apa?" Cindy mencoba mengingat,
“oh keputusanku ke Amerika?” Brian mengangguk.
“aku tidak tahu bingung rasanya memikirkan itu, memangnya ada apa?” tanyaku.
"tidak apa-apa, tapi kurasa Ibuku benar-benar sedih jika kamu pergi”
“aku tahu,” jawabku lirih. “lalu bagaimana menurutmu? Aku harus pergi atau tidak?” Cindy bertanya, membuat Brian terdiam.
" Ku berharap kamu tidak pergi. Tetaplah disini bersamaku. Bersamaku yang selama ini diam-diam menyukai dan mencintaimu. Aku tahu melepas sebuah impian yang sudah didepan mata memang tidak mudah tapi kuharap kamu tetap disini, karena aku sayang padamu. Coba ada keberanian didalam tubuhku pasti aku akan mengungkapkannya bukan hanya bergumam dalam seperti ini". Bisiknya dalam hati.
“halo Brian, gimana?” Cindy melambaikan tangannya diwajahku membuatku tersentak dari lamunanku.
“ya terserah kamu saja. Jika kamu ingin ke sekolah musik itu pergilah, tapi jika kamu masih ingin disini ya tetaplah disini, jangan kecewakan Ayahmu yang sudah membesarkanmu”
Cindy terdiam, "bukan jawaban itu yang ingin dia dengar. Kenapa dia tidak mencegahku pergi? Ku kira dia memiliki perasaan yang sama denganku." umpatnya.
“jangan bohongi hatimu. Pilihlah tempat dimana kamu bisa nyaman dan terlindung” lanjutnya.
Keesokkan harinya Cindy mengumpulkan semua orang di ruang keluarga. Dia ingin menjelaskan sesuatu yang penting.
“yah aku sudah memikirkan hal ini dengan matang” ucap Cindy dengan tenang.
“aku mengumpulkan semua orang disini karena aku ingin mengumumkan bahwa aku memutuskan untuk tidak akan pergi ke Amerika” lanjutku. Semua orang menoleh ke arahku yang baru saja membuat keputusan ini.
“lalu bagaimana dengan sekolahmu? Kamu bilang ingin sekolah disana?” Ayah heran dan bingung dengan keputusanku untuk tinggal di Indonesia.
“Ayah pasti terkejut dengan keputusanku ini”
“Aku seperti ini karena aku berpikir kebelakang. Dulu aku memang ingin sekali sekolah kesana karena pada saat itu kita memiliki segalanya. Tapi setelah Ayah di PHK dan menitipkanku disini, aku berpikir bahwa aku bukan seorang gadis dari keluarga berkecukupan lagi yang bisa mendapatkan apapun dengan mudah tapi aku hanya seorang gadis sederhana. Pada awalnya aku memang belum terbiasa tapi sekarang aku sudah sangat betah disini, aku kuliah dengan uangku sendiri, mendapat ilmu disana dan juga banyak teman. Sulit nantinya bagiku untuk berbaur dengan orang baru apalagi yang berbeda ras dengan kita,” curhatku.
“maafkan Ayah, sayang. Karena Ayah kamu menjadi seperti ini” Ayah menyesali perbuatannya.
“lalu bagimana? Daripada menyekolahkanku ke Amerika lebih baik Ayah menyimpan uangnya unuk menebus kembali rumah kita? Aku akan membantu dengan gajiku sebagai pengajar,” kataku.
Ayah mengangguk mengiyakan. “terserah padamu, keputusan itu ada ditanganmu Ayah hanya bisa mendukung keputusanmu,” balas Ayah.
“yeay!” Sorak Ibu dan Rina bersama-sama Mereka berbahagia Cindy tidak jadi ke Amerika. Dipeluknya Cindy oleh keduanya. Cindy tersenyum begitu juga Brian yang tersenyum senang pujaan hatinya tidak akan pergi jauh dari dirinya. Dan senyum itu juga terlihat oleh Cindy. Senyum yang sangat langka baginya karena Brian memang bukan tipe orang yang suka mengobral senyumnya pada orang lain.
******
Dreet
Hape Brian bergetar. Sebuah pesan muncul dilayar ponselnya.
“bisakah kau menjemputku?” pinta seseorang dipesan itu.
Brian terdiam sejenak. Dia bingung karena tadi siang Cindy pergi bersama Ria dan Helda tapi kenapa tiba-tiba Cindy menghubunginya untuk menjemputnya? Apa ada sesuatu yang baru saja terjadi?
“kamu dimana?” Brian membalas pesannya.
Setelah mendapatkan dimana lokasi Cindy, Brian bergegas pergi dengan motornya.
“ada apa?” Tanya Brian sesampainya.
“oh, kamu sudah datang?” jawab Cindy lesu.
“apa ada masalah?” tanya Brain.
“tidak, aku hanya malas naik bis jadi aku menghubungimu,” Cindy berbohong.
“Apa kamu sedang berbohong?” tanya Brian yang menyadari bahwa Cindy berbohong.
“tidak,” dusta Cindy.
“lalu kenapa kau tidak berani menatapku saat bicara? Saat kau ada masalah kau selalu menyendiri diruang latihan ini? Jujurlah padaku,” ucap Brian.
“aku bertemu dengannya hari ini” akhirnya Cindy-pun mengaku.
Cindy mendongkakkan wajahnya, ia mulai bercerita.
#Flashback#
Saat sedang berjalan-jalan dengan Ria dan Helda siang tadi.
Cindy bertemu dengan Miko untuk pertama kalinya setelah kejadian waktu itu.
Cindy menampar wajah Miko dan mencoba mengingatkan pada wanita yang sedang bersama Miko pada saat itu. Tentunya wanita yang berbeda dengan yang waktu itu dibawa oleh Miko kepadanya. “siapkanlah hatimu jangan sampai terluka sepertiku” ucapku pada wanita itu.
“maksudmu?” Wanita itu bingung dengan ucapan Cindy.
“sepertinya wanita ini belum mengetahui betapa bejatnya dirimu,” bisikku ditelinganya. Kutodongkan tanganku ke dadanya membuat dia hampir terjatuh.
“siapa kamu sebenarnya? Datang-datang langsung bersikap kasar kepada kami” wanita itu memaki Cindy.
“Siapa aku? Tanya saja padanya” ditunjuknya Miko.
“kuharap kau tidak lupa denganku yang telah kau sakiti,” ucap Cindy sinis.
Ayo! Ajak Cindy kepada kedua sahabatnya untuk meninggalkan tempat itu.
#Flashback End#
“lalu kenapa jika kamu bertemu denganya? Apa kamu masih mencintainya?” Tanya Brian sedikit cemburu.
“tidak… kenapa aku masik mencintainya setelah yang ia perbuat padaku,” Cindy tidak tahan membendung air matanya hingga jatuh membasahi pipinya.
Brian mendekati Cindy, perlahan ia mulai memajukan wajahnya dan menciumnya. Cindy kaget dengan apa yang dilakukan Brian padanya.
Brian melepas kecupannya,”ku mohon jangan pernah menangis lagi seperti ini. Lupakan dia dan hadapi kenyataan baru bahwa aku mencintaimu” Brian mengakui.
Cindy menatap Brian kaget akan pengakuan itu.
“aku menyukaimu dan aku mencintaimu.” Ucap Brian lagi sambil memeluk kembali Cindy.
“bagaimana denganmu?” tanya Brian.
Cindy yang masih kaget, membalasnya hanya dengan anggukan. “sama sepertimu aku juga menyukaimu,” ucap Cindy tersenyum.
Tiba-tiba Brian melepaskan pelukannya membuat Cindy bingung. “Apakah kau hanya menyukaiku saja?” ucap Brian tidak setuju.
Cindy terseyum dan memeluk Brian “tidak. Aku bukan hanya menyukaimu tapi aku juga mencintaimu” ucap Cindy bahagia.
Mereka berdua tersenyum bahagia.
Rina yang mencium gelagat aneh pada kakaknya sepulang menjemput Cindy mengampiri Brian ke kamarnya. “apa ada berita yang baru saja kulewatkan?” Tanya Rina pada kakaknya. Brian yang kaget dengan kemunculan Rina dikamarnya hanya tersenyum.
“ditanya malah senyum-senyum gitu. Ada apaan sih? Engga biasanya kakak yang jutek bisa tersenyum lebar seperti itu” ucap Rina.
“udah tidur sana! sudah malam,” Brian mengusir adiknya.
“ih! dasar pelit” Rina meninggalkan kamar kakaknya. Saat didepan pintu dia berhenti sejenak dia berpikiir jika ada seorang cowok dan cewek yang biasanya tidak akur dan sekarang menjadi akur bahkan tertawa bersama "apakah mereka ada hubungan special?" umpat Rina.
Rina kembali membuka pintu kamar Brian tapi sayangnya pintu itu sudah terkunci. Begitupun dengan kamar Cindy yang juga terkunci, Rina semakin penasaran dan yakin bahwa mereka berdua sedang berpacaran saat ini.
Selang beberapa hari mereka berpacaran, Brian menapat tawaran dari klub basket terkenal untuk mendapat pelatihan di Kanada.
“pergilah dan kejarlah cita-citamu itu” kata Cindy.
“tapi…” Brain berucap.
“tapi apa? Bukannya kau menginginkan itu?” potong Cindy.
“aku malu, dulu saat kau akan ke Amerika kau bilang kau tidak ingin kesana karenaku tapi sekarang malah aku yang harus meninggalkanmu” terang Brain.
“aku tidak jadi ke Amerika bukan karenamu, tapi karena aku ingin ditempat yang aku sendiri bisa nyaman dan terlindung, jadi pergilah” Cindy menjelaskan.
Brian terharu mendengarnya.
“tapi ingat jangan pernah sekali-kali kau menduakanku” Brian mengangguk dan memeluk Cindy.
Hari kepergian Brian-pun tiba.
Rina, Om Hadi, tante Sri, Ayah dan juga Cindy berkumpul untuk mengantarkan Brian. Dari wajah Cindy terlihat bahwa dia sedih karena harus berpisah dengan Brian. walaupun ia ikhlas dengan kepergiannya, tapi bagaimanapun seperti orang kebanyakan. dua sejoli yang sedang kasmaran sudah harus berpisah pasti membuat orang yang merasakannya sedih. Begitupun juga dengan Brian, ia tak tega meninggalkan kekasih yang dicintainya itu.
Rina juga sedih walaupun kakaknya mendapatkan beasiswa itu tapi Rina tahu pasti dilubuk hati kakaknya terselip kesedihan karena harus meninggalkan kak Cindy.
Satu persatu dari mereka memeluk Brian. Tiba saatnya Cindy memeluk Brian. Didalam dekapannya, Brian berseru kecil bahwa ia benar-benar mencintainya membuat Cindy semakin sedih. Brian melangkah pergi meninggalkan mereka. Cindy yang tak tahan memilih untuk pergi ke mobil lebih dulu.
5 tahun berlalu.
Cindy dan Ayahnya telah kembali mendapatkan rumahnya. Setelah kepergian Brian ke kanada untuk menjadi pemain basket yang professional. Cindy memutuskan untuk keluar dari rumah itu segera setelah mendapatkan rumahnya kembali.
Sedih, haru, bahagia tercampur saat Cindy mengenang masa lalunya. Datang ke rumah orang lain sendirian dan bertemu dengan Brian. Putus dengan Miko. Membatalkan kepergiannya ke Amerika walaupun pada akhirnya ia kesana untuk meningkatkan potensinya. Saling cuek pada awalnya, namun pada akhirnya mereka berdua saling jatuh cinta. Walaupun mereka berdua harus terpisah karena Brian ke kanada dengan basketnya dan Cindy dengan biolanya tetapi mereka tetap saling berkomunikasi satu sama lain walaupun berjauhan.
#Ria : Ia menikah muda dengan lelaki impiannya (bermata sipit).
#Helda: Aku tidak tahu pasti dimana ia sekarang tetapi kudengar ia masuk ke salah satu grup orkes terkenal di Cina tempat Ayahnya.
#Andre: Ia berpacaran dengan nenek lampir (Tere).
#Miko? : Aku tidak mengurusnya.
#Dan aku? : Menanti dengan sabar kedatangan Brian, kekasihku.
Tiba-tiba Zeb! Seseorang dari belakang menatup mataku.
“siapa kamu? Apa maumu?” rintihku.
Dengan suara yang diberatkan, “aku seseorang yang akan menculikmu” aku tertawa mendengarya, “Brian?”
“Brian? Siapa Brian aku tidak mengenalnya,” lelaki itu berkata masih dengan suara beratnya.
Cindy membalikan badannya. Begitu bahagianya ia melihat lelaki yang ia tunggu-tunggu sekarang benar-benar dihadapannya.
Cindy akan memeluknya tapi…. Bukan itu yang akan dia lakukan. justru Dia memukul Brian.
“kau ini! sudah sebulan tiba-tiba menghilang tanpa kabar sama sekali,” Cindy tidak menahan kebahagiannya sampai air bening jatuh dari pelupuk matanya.
“maaf, aku hanya ingin membuat kejutan untukmu,” Brian menghapus air mata Cindy.
“disaat aku tidak ada, apakah kamu selalu menangis seperti ini?” Cindy mengangguk.
“kamu ini, sudah kubilang jangan sia-siakan air matamu itu karena aku akan selalu mencintaimu,” Cindy tersenyum.
Brian lalu memeluk dan menciumnya. Gadis cantik itu pun membalas ciuman dan pelukannya dengan erat.
-The End-
gimana menurut kalian dengan cerita ini? sory kalau ceritanya kurang menarik dan typo soalnya ini sebenernya tugas sastra pertamaku untuk di sekolah tapi kata temenku disuruh posting ke blog jadi aku cobe berbagi sama yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar